Segelas air madu dingin dia
habiskan sesaat setelah dia duduk di samping saya. Saya tanyakan apakah dia
merasa lapar atau menginginkan sesuatu, dia menggeleng lemah, dia hanya meminta
saya duduk di samping dia dan memeluk dia.
Nafasnya memburu, jantungnya
berdetak cepat, wajahnya agak pucat. Ia pasti sangat marah. Sungguh, saya ingin
sesegera mungkin bertanya apa yang terjadi padanya tapi sekuat mungkin saya
tahan.
"Kami menyayangi Aa,
kami sangat bersyukur pada Allah karena telah menghadirkan Aa sebagai penyejuk
mata kami. Aa tahu itu kan a!?! " saya bisikkan kalimat-kalimat cinta
untuknya sambil tetap duduk di sampingnya dan membelai lembut kepalanya.
Perlahan, detak jantungnya
saya rasakan mulai normal kembali, deru nafasnya mulai tenang. Saya usap
wajahnya yang mulai terlihat tenang kembali. Sungguh, saya penasaran apa yang
dia alami hingga membuatnya terlihat marah, sekali lagi saya ingin sesegera
mungkin bertanya padanya, tapi saya berusaha menahannya sampai dia sendiri yang
siap menceritakan masalahnya.
"Apa yang sedang Aa
rasakan?" kalimat tanya ini tak pernah benar-benar terucap, hanya berhenti
di hati tanpa pernah diucapkan.
Setelah agak lama tanpa
suara, akhirnya dia mulai melepaskan pelukan saya lalu mengambil posisi
berhadapan. Dia menarik nafasnya pelan, keningnya agak berkerut tapi dia sudah
terlihat jauh lebih tenang dibanding sebelumnya. Biasanya saat itu dia sedang
bersiap untuk bercerita...
"Ummi, teman-teman aa saling
memanggil dengan sebutan binatang (baca: anjing/monyet), tadinya aa diam
saja." Air mata mulai menggenang di pelupuk matanya, nafasnya kembali
memburu seolah sedang berpacu dengan kata yang belum sepenuhnya dia sampaikan,
dia terluka dan dia sedang berusaha menceritakan lukanya. Bukan hal mudah
berkisah tentang luka tanpa airmata dan sorot pilu serta dada sempit menahan
sesak.
"Tapi waktu panggilan
itu diberikan pada Aa, Aa nggak nyahut lalu mereka marah. Aa nggak suka dipanggil dengan nama binatang, lalu aa bilang kalau aa itu bukan binatang, ummi
abi juga bukan binatang dan aa tidak suka dipanggil dengan memakai nama
binatang. Aa punya nama dan nama aa bukan nama binatang.. Aa juga bilang supaya
mereka jangan saling memanggil dengan nama binatang karena Allah tidak suka,
ayah dan ibu mereka juga pasti tidak suka anak-anaknya dipanggil dengan nama
binatang." air mata yang tadinya menggenang mulai jatuh perlahan membasahi
pipinya. Saya biarkan dia terus bercerita menumpahkan sesak di hatinya, menumpahkan
semua perasaannya serta menunjukkan amarah dan luka yang dia rasakan. Saya
biarkan dia terus bercerita hingga letih hatinya perlahan sirna.
"Subhanalloh...
MasyaAllah, Barokalloh Sholeh, putra ummi, semoga Allah memberkahimu dengan
lisan yang santun dalam berucap, Nak. Semoga Allah memberkahi usiamu dan Ridho
padamu. Ummi bangga padamu, Nak.. Engkau telah melakukan hal yang benar,
insyaAllah."
Dia mulai tersenyum ... Nafasnya kembali terlihat tenang, air mukanya
tak lagi sepucat sebelumnya.
Saya kembali memeluk dia dan
membiarkan dia menata perasaannya kembali. Mengajak dia untuk mengingat semua
nikmat yang Allah anugerahkan untuk kami, untuk dia. Mengaku dia untuk
mengingat semua yang baik-baik dari dirinya dan orang-orang disekitarnya yang
semua itu adalah anugerah Allah yang luar biasa.
Serta mengajak dia memaafkan
setiap luka yang datang karena kesengajaan ataupun ketaksengajaan dari mereka
yang menghadirkan luka.
Bahwa memaafkan itu tidaklah
mudah, tapi juga bukan hal yang sulit
untuk dilakukan. Allah menyukai hamba-Nya yang memaafkan.
Memaafkan adalah kata kerja
yang bisa dilakukan tanpa mengenal kata tapi, tidak mudah artinya bisa
dilakukan dengan usaha lebih. Tapi untuk anak-anak seusianya, hal itu menjadi
jauh lebih mudah Insya Allah.
Ya, bahkan anak seusia itu
bisa memahami arti luka, dia bisa merasakan arti tersinggung dan letih di hati.
Dan belajar memaafkan haruslah terus ditanamkan agar tak menjadi titik duka
yang semakin hari semakin membesar dihatinya, sedang dia tidak memahami arti dukanya.
Membimbing dia untuk
mengenali perasaannya, bercerita tentang perasaannya dan berdamai dengan
perasaannya sebagai salah satu bentuk nikmat berupa tarbiyah dari Allah lebih
baik daripada memintanya untuk sekedar melupakan tanpa pernah berusaha memahami
dirinya sendiri. Dan di sinilah peran kita sebagai ibu untuk menjadi
madrasahnya; mengajak dia memahami dirinya sendiri sebagai bekal untuk dia di
kemudian hari.
Allohu a'lam bishshowab.
No comments on Tips Memahami Emosional Anak dan Cara Mengatasinya
Post a Comment